Senin, 21 Juli 2014

Tugas Konservasi Arsitektur (Rumah Adat Kepulauan Riau)

1.1  Lokasi Provinsi Kepulauan Riau
Secara geografis provinsi Kepulauan Riau adalah provinsi yang berbatasan dengan negara tetangga, yaitu Vietnam dan Kamboja di sebelah utara, Negara Malaysia dan provinsi Kaliamantan Barat di timur, provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi di selatan, dan Negara Singapura, Malaysia, provinsi Riau di sebelah barat.

Secara keseluruhan Wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 4 Kabupaten dan 2 Kota, 47 Kecamatan 274 Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau besar dan kecil dimana 30% belum bernama dan berpenduduk. Adapun luas wilayahnya sebesar 252.601 Km2, dimana sekitar 95%-nya merupakan  lautan dan hanya 5% merupakan wilayah darat. Ibu kota provinsi Kepulauan Riau berkedudukan di Tanjung Pinang.

Peta Lokasi Kepulauan Riau
Sumber : http://melayuetno.blogspot.com/2013/11/etnografi-suku-melayu-riau-daratan-dan_21.html

1.2 Pengertian
Rumah adat Kepulauan Riau merupakan salah satu satu provinsi di Indonesia. Daerah ini merupakan gugusan pulau yang tersebar di perairan selat Malaka dan laut Cina selatan. Keadaan pulau-pulau itu berbukit dengan pantai landai dan terjal. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sedangkan agama yang dianut oleh sebagian besar dari mereka adalah Islam.

Kondisi alam dan keyakinan masyarakat Kepulauan Riau sangat mempengaruhi pola arsitektur rumahnya. Pengaruh alam sekitar dan keyakinan dapat dilihat dari bentuk rumahnya, yaitu berbentuk panggung yang didirikan di atas tiang dengan tinggi sekitar 1,50 meter sampai 2,40 meter. Penggunaan bahan-bahan untuk membuat rumah, pemberian ragam hias, dan penggunaan warna-warna untuk memperindah rumah merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan dan ekpresi nilai keagamaan dan nilai budaya.

Salah satu rumah untuk tempat tinggal masyarakat Kepulauan Riau adalah rumah Belah Bubung. Rumah ini juga dikenal dengan sebutan rumah Rabung atau rumah Bumbung Melayu. Nama rumah Belah Bubung diberikan oleh orang Melayu karena bentuk atapnya terbelah. Disebut rumah Rabung karena atapnya mengunakan perabung. Sedangkan nama rumah Bubung Melayu diberikan oleh orang-orang asing, khususnya Cina dan Belanda, karena bentuknya berbeda dengan rumah asal mereka, yaitu berupa rumah Kelenting dan Limas.

Nama rumah ini juga terkadang diberikan berdasarkan bentuk dan variasi atapnya, misalnya: disebut rumah Lipat Pandan karena atapnya curam; rumah Lipat Kajang karena atapnya agak mendatar; rumah Atap Layar atau Ampar Labu karena bagian bawah atapnya ditambah dengan atap lain; rumah Perabung Panjang karena Perabung atapnya sejajar dengan jalan raya; dan rumah Perabung Melintang karena Perabungnya tidak sejajar dengan jalan.

Besar kecilnya rumah yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya seseorang semakin besar rumahnya dan semakin banyak ragam hiasnya. Namun demikian, kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak. Pertimbangan yang paling utama dalam membuat rumah adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan serasi atau tidaknya sebuah rumah, sang pemilik menghitung ukuran rumahnya dengan hitungan hasta, dari satu sampai lima. Adapun uratannya adalah: ular berenang, meniti riak, riak meniti kumbang berteduh, habis utang berganti utang, dan hutang lima belum berimbuh. Ukuran yang paling baik adalah jika tepat pada hitungan riak meniti kumbang berteduh.

 
Rumah Belah Bubung
Sumber : http://www.kebudayaanindonesia.com/2014/05/kebudayaan-kepulauan-riau.html

1.3  Permukiman Pulau Penyengat Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau
a.      Deskripsi lokasi
Lokasi permukiman Pulau Penyengat terletak disebuah pulau kecil yang berjarak 6 (enam) kilometer dari Tanjung Pinang. Yang biasa ditempuh dari ibukota Kepulauan Riau, Tanjung Pinang melalui jalan laut dengan menyebrang menggunakan kapal kayu berkapasitas 10-15 orang penumpang dengan waktu tempuh 15-20 menit. Pulau penyengat dihuni 2.600 jiwa dengan luas sekitar 260 hektar, pulau kecil dengan kehidupan Melayu Islami yang khas. Pulau ini juga dikenal sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga pada masa lampau.

Secara geografis, pulau ini berada di bawah bukit kursi yang masih rindang dengan hutan yang dilindungi oleh warga sekitar,  jalan utama terbuat dari paving yang selalu terlihat bersih dan rapi. Rumah penduduk sendiri menyebar diantara sisi jalan desa sebagai orientasi serta beberapa rumah lain berada ditepi pulau yang berbatasan dengan laut lepas.

b.      Gambaran Umum
Penduduk di Pulau Penyengat adalah penduduk asli yang ada sejak jaman kesultanan Riau-Lingga. Penggunaan bahasa Melayu yang sangat kental sebagai bahasa dalam berkomunikasi dengan sesama penduduk serta bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan warga pendatang dan tamu dusun. Memasuki kawasan pulau Penyengat ini akan terasa suasana Islami karena pintu masuk pulau ini berhadapan dengan pintu masuk Masjid Sultan. Pulau ini sudah dijadikan kawasan wisata sejarah dan religi bagi propinsi Kepulauan Riau.

c.       Budaya dan Adat Istiadat
Penduduk Pulau Penyengat semuanya beragama Islam karenanya aturan adat banyak mengacu pada ajaran Islam. Kegiatan adat di desa ini memang kental nuansa Islam Melayu dan nilai religius yang kental yang bisa dilihat dalam arsitektur rumah tinggal adalah anak tangga yang berjumlah lima sebagai rukun Islam yang diartikan bahwa melewati anak tangga (rukun Islam) yang lima, maka mereka akan mencapai kehidupan yang baik yakni berkumpul dengan keluarga. Saat ini memang tidak banyak rumah tradisional yang tertinggal di kawasan Pulau Penyengat, hanya sekitar 2 (dua) buah yang tersisa lainnya merupakan rumah penduduk yang termodifikasi modern dan rumah panggung yang berada di atas bibir pantai. Penduduk pulau Penyengat banyak berprofesi sebagai Nelayan, pedagang, pegawai di Tanjung Pinang, dan beberapaa orang sebagian pemandu.

Semuanya sudah diatur dan ditetapkan dalam aturan adat yang hingga saat ini memang belum tertulis (lisan) tetapi sudah menjadi aturan baku secara turun temurun. Dari Masjid Sultan merupakan pusat kegiatan masyarakat selain sebuah balai adat yang masih baru. Masyarakat masih menjunjung tinggi kegiatan gotong royong dalam setiap kegiatan sosio kemasyarakatan sehingga kekentalan tradisi ini manjadi benteng masuknya modernisasi meski tidak terbendung dengan baik.

d.      Pola Permukiman dan Artefak Arsitektural
Pola permukiman saat ini cenderung menyebar dan berorientasi pada jalan umum sebagai arah hadap rumah dikawasan ini. Di pulau ini banyak ditemui peninggalan bersejarah termasuk makam-makam Raja Kesultanan Riau, diantaranya makam Raja Ali Haji yang dikenal sebagai sastrawan pencipta Gurindam Dua Belas, makam Raja Ja;far, Raja Ali Marhum serta makam pahlawan nasional Raja Haji Fisabillah, serta peninggalan bersejarah berupa Istana Kantor, benteng pertahanan di Bukit Kursi, serta sebuah Masjid Sultan dengan langgam arsitektur Timur Tengah. Pola perletakan rumah bergantung kepada jenis rumahnya, yaitu rumah sejajar jalan dan tegak lurus jalan (melintang). Rumah yang dibuat dengan perabung atapnya sejajar dengan jalan raya dimana rumah itu terletak disebut Rumah Perabung Panjang, sebaliknya rumah yang tidak sejajar dengan jalan raya disebut Rumah Perabung Melintang.

e.       Pola Ruang/Denah
Kedua rumah panggung Limasan di kedua kawasan ini memang masih dipertahankan oleh pemiliknya. Dengan tinggi panggung 1,50-2 meter, dibuat panggung sebagai ciri khas rumah didaerah Penyengat. Material rumah banyak didominasi oleh bahan kayu dengan atap dari seng. Tangga depan berada persis ditengah rumah seolah membelah rumah menjadi 2 bagian.

Denah
Sumber : buku Inventarisasi Arsitektur Tradisional dan Permukiman Tradisional Wilayah Sumatera
Denah

Ruang depan sebagai ruang penerimaan tamu dan disisi kiri terdapat kamar penghuni, bagian tengah merupakan ruang besar yang berfungsi sebagai ruang keluarga dan difungsikan sebagai ruang makan. Dan bagian belakang selain sebagai dapur juga menjadi ruang santai.

 
Aksonometri rumah

a.      Tampilan Rumah
Tipologi rumah yang dominan di Penyengat adalah perabung melintang. Rumah dengan tinggi 1,5-2 meter berbentuk persegi panjang, dimana besar kecil bangunannya disesuaikan dengan kemampuan pemilikinya. Jika keadaan tanah didaerah dipinggir laut, maka rumah ditambah dengan tiang yang berukuran kecil atau tiang tongkat. Dimana tiang ini hanya sampai kerasuk atau gelagar saja. Material tiang biasanya dari kayu kulit, naling, resak, atau tembesu. Dengan ukuran yang tidak ditentukan tergantung dari besar/kecil rumah yang akan dibangun.

Papan dinding dipasang tegak lurus, jika ada yang dipasang miring atau bersilangan, hanya sebagai variasi. Cara memasang dinding biasanya dirapatkan dengan lidah pian atau dengan susunan bertindih yang disebut tindih kasih. Cara lain yang digunakan adalah dengan pasangan melintang dan saling menindih yang disebut susun sirih tetapi jarang digunakan dengan kemiringan rata-rata 45 derajat. (Inventarisasi Arsitektur Tradisional dan Permukiman Tradisional Wilayah Sumatera)


Perspektif rumah

Adapun lebih lengkapnya akan dijelaska sebagai berikut
1.3       Bagian-bagian Rumah Belah Bubung
Pada rumah belah bubung terdiri atas 3 (tiga) bagian, yakni selasar, rumah  induk dan penanggah.
a.      Selasar
Pada umumnya selasar terdapat tiga mcam, yakni Selasar Luar, Selasar Jatuh dan Selasar Dalam. Selasar yang berada di depan Rumah Induk disebut Selasar Luar. Jika lantai Selasar Luar lebih rendah dari Rumah Induk disebut Selasar Jatuh, dan jika Selasar menyatu dengan Rumah Induk disebut Selasar Dalam. Selasar merupakan tempat anak-anak bermain, meletakan alat pertanian dan tempat menerima tamu.

b.      Rumah Induk
Rumah Induk terbagi ke dalam tiga bagian yakni ruangan muka, ruangan tengah, dan ruang dalam.
·         Ruangan muka.
Pada ruangan ini menjadi tempat kaum ibu, serta tempat tidur keluarga perempuan dan anak-anak yang belum berusia 7 tahun.
·         Ruangan tengah.
Ruangan ini menjadi tempat tidur laki-laki yang sudah berumur 7 tahun.
·         Ruang dalam.
Ruang ini merupakan tempat tidur orang tua perempuan dan anak perempuan yang telah dewasa.

c.       Penanggah
Yang dimaksud ruang penanggah adalah ruang Telo dan ruang dapur. Ruang telo berfungsi menghubungkan rumah induk dengan dapur. Ruangan ini digunakan sebagai tempat menyimpan sebagian alat pertanian dan nelaya, serta tempat menyimpan cadangan air. Sedangkan dapur merupakan tempat melakukan aktivitas memasak, makan keluarga dan menyimpan peralatan memasak.

1.4       Bangunan Rumah
Bangunan rumah terdiri dari :
a.      Tangga
Tiang tangga berbentuk segi empat atau bulat.Pada kiri kanan tangga ada kalanya diberi tangan tangga yang dipasang sejajar dengan tiang tangga, dan selalu diberi tiang hiasan berupa kisi-kisi larik atau papan tembus. Jumlah anak tangga tidak ditentukan, tetapi tergantung pada tinggi rendahnya rumah tersebut.
b.      Tiang
Tiang berbentuk bulat atau bersegi.Tiang yang terdapat pada keempat sudut rumah induk disebut “Tiang Seri”, yaitu tiang pokok rumah tersebut. Tiang ini tidak boleh bersambung,harus sampai dari tanah ketutup tiang,sedangkan tiang yang terletak diantara tiang Seri sebelah depan rumah, disebut Tiang Penghulu. Jumlah tiang rumah induk paling banyak 24 buah, sedangkan tiang untuk bangunan yang lainnya tidaklah ditentukan jumlahnya. Pada rumah bertiang 24, tiang-tiang itu didirikan 6 baris, masing-masing baris 4 buah tiang, termasuk tiang seri.

c.       Rasuk
Rasuk adalah balok persegi empat yang terbuat dari kayu keras seperti tembusu, resak dan kulim. Biasanya rasuk dibuat ganda. Rasuk ganda disebut rasuk induk dan rasuk anak. Rasuk induk sebelah bawah dan rasuk anak sebelah atas. Rasuk berbentuk persegi yang terbuat dari kayu keras,dan dipasang menembus tiang. Rasuk adakalnya disebut “Gelegar Jantan” atau ” Gelegar Induk”.

d.      Gelagar(anak rasuk)
Gelagar disebut juga anak rasuk. Gelagar memiliki ukurannya lebih kecil dari Rasuk, yang disusun melintang diatas rasuk.

e.       Bendul
Umumnya berbentuk bersegi empat,dan merupakan balok yang tidak boleh bersambung. Bendul berfungsi sebagai batas ruangan dan batas lantai.

f.       Jenang
Jenang berbentuk balok persegi empat atau bulat. Fungsi utamanya adalah tempat melekatkan dinding dan sebagai penyambung tiang dari rasuk ke tutup tiang pada kedua ujungnya diberi puting. Sebelah bawah dirasuk, sedangkan puting sebelah atas dipahatkan ke dalam tutup tiang.

g.      Sento
Pekayuan yang menghubungkan jenang dengan jenang, bentuknya persegi atau bulat, bahannya seperti bahan jenang tetapi ukurannya lebih kecil dan kedua ujung sento dipahatkan kedalam jenang.

h.      Tutup tiang
Tutup tiang berbentuk balok persegi empat, besarnya tergantung kepada ukuran tiang dan berfungsi sebagai pengunci bagian atas tiang. Tutup tiang yang menghubungkan ke empat tiang Seri disebut ”tutup tiang panjang”, sedangkan yang menghubungkan tiang-tiang lainnya disebut “tutup tiang pendek”.

i.        Alang
Kayu yang dipasang melintang di atas tutup tiang disebut alang. Bentuknya persegi, berfungsi sebagai gelegar loteng atau balok tarik dibawah kuda-kuda. Berukuran sama atau lebih kecil sedikit dari tutup tiang.

j.        Kasau
Kasau berfungsi sebagai kaki kuda-kuda dan bisa berfungsi sebagai tempat untuk melekatkan atap.

k.      Gulung-gulung
Gulung-gulung berbentuk persegi, dipasang sejajar dengan tulang bubung, dan terletak di atas kasau jantan.
l.        Tulang bubung
Tulang Bubung berbentuk persegi. Berfungsi sebagai tempat pertemuan ujung kasau dan ujung atau sebelah atas. Di atas tulang bubung dipasang peraung, yakmi atap yang menutup pertemuan puncank atap.

m.    Jendela
Jendela biasa disebut “tingkap” atau “pelinguk”. Bentuknya sama denagn pintu tapi ukurannya lebih kecil. Daun jendela satu lembar dan 2 lembar. Sebagai pengaman, jendela di pasang jejarak panjang yang disebut kisi-kisi yang terbuat dari kayu yang berbentuk segi empat, biasanya diberi panel yang tingginya 30-40cm.

n.      Lubang angin
Lobang angin atau yang biasa disebut dengan ventilasi yang di buat khusus dibagian luar rumah, Biasanya berbentuk segi delapan, segi empat atau bulat. Di rumah sederhana biasanya dibuat berbentuk segi empat.

o.      Loteng
Loteng disebut langsa. Loteng yang terletak di atas bagian belakang rumah (telo atau dapur ) disebut paran atau para, namun tidak banyak rumah yang memakai loteng. Terbuat dari papan yang disusun rapat sama seperti lanati ruma induk, hanya lantai loteng ukurannya lebih kecil dan tipis.

p.      Singap (badai)
Singap disebut teban layer atau bidai. Bagian ini biasa dibuat bertingkat dan diberi hiasan yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi. Pada bagian yang menjorok keluar diberi lantai yang disebut tubing layer atau lantai alanga buang atau disebut juga undan-undan.

q.      Atap
Bahan utama adalah daun pinah dan daun rumbai dan di belakangan ini sering dipergunakan seng. Untuk meletakkan dipergunakan tali rotan, sedangkan untuk meletakkan perabung dipergunakan pasak yang terbuat dari nibung.
r.       Dinding
Dalam aspek adat di dalam bangunan modern, disebut Purus. Jadi dalam merapatkan dinding yang satu dengan yang lainnya, bagian yang menonjol itu dimasukan kebagian yang cekung sehiungga papan-papan itu benar-benar rapat tidak tembus air atau tembus cahaya. Dinding lidah pian biasanya dipasang bagi rumah orang-orang yang mampu, karena untuk membuat Pian memerlukan tukang yang ahli dan kayu keras yang tidak berserabut.


s.       Pintu
Dalam aspek adat Pintu disebut juga Ambang atau Lawang. Pintu yang berada diruangan tengah, kalau rumah itu berbilik, pintu yang menghubungkan bilik disebut juga pintu Malim atau pintu Curi. Pintu ini khusus keluarga perempuan, keluarga terdekat, atau untuk anak gadis, yang dibuat terutama untuk manjaga agar penghuni rumah jika ada keperluan dari satu bilik ke bilik lainnya tidak melewati ruangan tengah, apalagi bila ruangan itu sedang ada tamu. Sebab menjadi adat pula bahwa “lalu lalang” di depan tamu merupakan perbuatan yang tercela, tidak tahu sopan dan tidak beradab.

Dalam aspek kepercayaan/religi, pintu Malim mengandung makna bahwa pemiliknya adalah orang alim, yakni orang yang tahu adat dan agama, sehingga tidak melanggar sopan santun. Sedangkan pintu Curi bermakna bahwa keluarga masuk pintu itu seperti pencuri yang berjalan hati-hati dan tidak berisik seperti pencuri.

t.        Lantai
Dalam aspek adat lantai terbuat dari kayu  Meranti,  Medang, atau Punak. Untuk bagian rumah induk lantainya dapat dibuat dari nibung yang dibelah-belah. Susunan lantai sejajar dengan rasuk, dan melintang di atas gelegar, dimana ujungnya dibatasi oleh bandul. Ketinggian lantai tergantung pada ketinggian tiang rumah. Umumnya selisih ketinggian itu antara 20-60cm.

Dalam aspek kebudayaan di rumah induk lantainya harus selalu disusun rapat, bahkan diberi berlindah “Pian”, sedangkan diruangan dapur lantainya disusun jarang atau agak jarang. Lantai yang terbuat dari belahan nibung biasanya ditemmpatkan di ruang belakang, atau di tempat yang selalu kena air, seperti Telodan Dapur. Lantai nibung ini tidak dipaku, tetapi dijalain dengan rotan dan lebarnya antara 5-10cm.

1.5       Ornamentasi / Ragam Hias
Corak atau ornamen yang digunakan pada rumah adat ini bersumber dari alam, yakni flora dan fauna. Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan (flora). Hal ini terjadi karena orang Melayu umumnya beragama Islam sehingga corak hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus kepada hal-hal yang berbau “keberhalaan”. Corak hewan yang dipilih umumnya yang mengandung sifat tertentu atau yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan tempatan.

Secara umum corak-corak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.      Flora
Hiasan yang menstilasi tumbuh-tumbuhan banyak digunakan. secara umum, penggunaan stilisasi tumbuh-tumbuhan dapat dikelompokan ke dalam tiga kelompok, yaitu : kelompok kaluk pakis, kelompok bunga-bungaan dan kelompok pucuk rebung.
·         Kelompok keluk pakis memiliki dua motif utama, yaitu motif daun-daunan dan motif akar-akaran. Hiasan berbentuk daun meliputi motif daun susun, daun tunggal dan daun bersangit. Sedangkan hiasan berbentuk akar-akaran meliputi motif akar pakis, akar rotan, dan akar tunjang.


kaluk pakis, kelopak jambu air, kaluk pakis bertingkat

·         Kelompok bunga-bungaan meliputi stilisasi bunga Kundur, bunga Melati, bunga mangga, bunga cengkeh, bunga melur, bunga cina dan bunga hutan.


Bunga kundur, bunga cengkeh bersusun, bunga melati

·         Kelompok pucuk rebung meliputi pucuk rebung dan sulo lalang.

Pucuk rebung kuntum dua dewa

Adapun warna-warna yang sering digunakan sebagai pewarna motif tumhan adalah :
·         Warna hijau digunakan untuk mewarnai motif daun
·         Warna putih, kuning, merah atau cat emas digunakakan untuk mewarnai motif bunga
·         Warna hiju dan biru digunakan untuk mewarnai motif tangkai.

a.      Fauna
Ukiran yang menggunakan bentuk hewan dalam rumah Belah Bubung sangat sedikit jumlahnya. Adapun hewan yang dipilih adalah hewan yang dianggap baik oleh masyarakat, misalnya semut beriring, itik sekawan dan lebah bergantung. Namun demikian penggambaran detail dari hewan-hewan tersebut tidak jelas.

Dinamakan motif semut beriring karena bentuknya dianggap seperti semut beriring. Corak semut dipakai walau tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut semut beriring karena sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Dinamakan itik sekawan karena berjalan bergerombol. Dinamakan lebah bergantung karena bentuknya seperti lebah bergantung, dan digunakan karena sifat lebah yang selalu memakan yang bersih, kemudian mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu). Penggunaan warna ditentukan oleh selera yang punya rumah.


Itik sekawan

Sumber : http://www.riaudailyphoto.com/2011/11/ragam-motif-ukiran-dalam-arsitektur.html

Sumber : http://www.riaudailyphoto.com/2011/11/ragam-motif-ukiran-dalam-arsitektur.html


a.      Alam
Motif alam yang sering digunakan adalah motif bintang-bintang dan awan larat. Warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran bintang-bintang pada umumnya adalah warna putih, kunin dan keemasan. Sedangkan warna yang digunakan untuk mewarnai awan larat adalah warna hijau, biru, merah, kuning dan putih.
 

Bintang berkuntum, bulan penuh bunga berhias


a.      Kaligrafi dan Kalimah
Motif kaligrafi atau kalimah merupakan ukiran yang berasal dari ayat-ayat al-Quran merupakan bentuk ukiran yang merefleksikan kepercayaan atau agama masyarakat Kepulauan Riau, yaitu Islam. Warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran kaligrap atau kalimah adalah warna Putih, biru, hijau, kuning, keemasan atau perak.

b.      Motif Lain
Hiasan lain yang biasa digunakan adalah Selembayung yang diletakkan di puncak atap, Sayap Layang-Layang yang diletakan pada ujung kaki cucuran, Pinang-Pinang atau Gasing-Gasing, Papan Tebuk dan Balam Dua Selengek atau ukiran berbentuk burung Balam. Warna yang biasa digunakan adalah warna Putih sebagai tanda kesucian, warna merah sebagai tanda persaudaraan dan keberanian, warna kuning sebagai lambing kekuasaan, warna biru sebagai lambing kekuasaan di laut, warna hijau menlambangkan kesuburan dan kemakmuran, warna hitam melambangkan keperkasaan, warna keemasan sebagai lambang kekuasaan dan kejayaan.

Rumah bubung melayu ini biasanya dihiasi dengan ukiran-ukiran : Puncak atapnya dihiasi ukiran selembayung  dan  ujung cucuran atap dihiasi ukiran sayap layang-layang. Ukiran lebah bergantung menghiasi lesplank, akar paku mengisi bidang-bidang kosong, kisi-kisi dihiasi ukiran papan tebuk bermotif itik sekawan, bunga-bunga maupun ukiran larik.

1.6  Konsep Simbolik
a.      Tata Ruang Rumah
Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti ruang-ruang pada Rumah Induk, dan ruang publik, seperti Selsar dan Penanggah, merupakan usaha untuk menanamkan dan manjaga nilai kesopanan, etika bermasyarakat.

b.      Ornamen
Penggunaan ragam hias berkaitan dengan beragam warnanya tidak saja mengandung nilai estetika (keindahan) tetapi juga nilai etis, moral, sosial dan religius. Ukiran Daun Bersusun melambangkan kasih sayang, ukiran Daun Bersanggit melambangkan kehidupan bermasyarakat, ukiran Akar Pakis melambangkan kehidupan keyakinan bahwa semuanya akan kembali pada yang Satu, ukiran Akar Rotan melambangkan kehidupan yang harus terus berkembang, dan ukiran Akar Tunjang melambangkan tempat berpijak. Ukiran berbentuk fauna melambangkan hidup bergotong royong, ketertiban umum dan sebagainya. Penggunaan ukiran dari ayat-ayat al-Quran tidak saja untuk hiasan tetapi juga sebagai azimat, yaitu agar terhindar dari gangguan makhluk halus dan sebagainya.

1.7       Bahan Bangunan yang Digunakan
Bahan bangunan yang digunakan pada rumah adalah :

Tiang
Kayu Kulim, Kaling, Resak, Tembusu
Lantai
Papan kayu Meranti, Medang, dan Punak
Dinding
Kayu Punak, Meranti, Medang, Kulim
Dinding Dapur
Kulit kayu Meranti/Pelepah Kumbia/Bambu
Pintu
Kayu Surian, Punak, Tembusu
Atap
Susunan daun Nipah/duan Rumbia
Penyatu tiang-tiang kayu
Pasak dari Nibung
Pengikat atap rumah
Rotan





1.9       Pola Tata Ruang Suku Melayu Riau
Bagi orang Melayu Riau, permukiman atau perkampungan harus dibangun penuh perhitungan, karena di sanalah mereka menetap dan memanjangkan keturunan. Permukiman dibangun dengan landasan adat (budaya) serta kepercayaan yang dianutnya, kemudian disempurnakan dengan larang pantang yang diberlakukan secara ketat. Orang-orang tua Melayu Riau mengingatkan: “dalam menyusuk atau membangun kampung, adat dipegang lembaga dijunjung” atau dikatakan: “apabila hendak menusuk kampung, adat dipakai lembaga dihitung, supaya tuah apat besambung, supaya rezki terus melambung”.

Ketentuan adat iniah yang menjadi acuan dasar dari masyarakat tempatan dalam membuat perkampungan. Sehingga dalam Pemanfaatan Ruang, masyarakat Melayu Riau memiliki aturan pembagian lahan menjadi 3 fungsi yaitu: lahan untuk pemukiman, lahan untuk peladangan dan lahan untuk hutan rimba larangan.

1.10     Sistem Sosial Masyarakat/Budaya dan Adat Istiadat
Masyarakat Melayu Riau pada dasarnya terdiri dari dua stratifikasi Sosial atau golongan, yaitu golongan masyarakat asli dan golongan penguasa atau bangsawan kesultanan. Meskipun demikian, struktur sosial orang Melayu Riau sebenarnya longgar dan terbuka bagi kebudayaan lain. Sehingga banyak orang Arab dan Bugis yang menjadi bangsawan.

Wan adalah gelar bangsawan bagi orang Arab dan raja adalah gelar kebangsawanan orang Bugis. Mereka juga mendapat kedudukan yang sangat tinggi (Sultan Siak dan Sultan-sultan Kerajaan Riau-Lingga). Sedangkan, gelar bangsawan untuk orang Melayu adalah tengku.

Pada awalnya kepala-kepala suku yang menguasai hutan tanah, “territorial” bernaung di bawah kerajaan Johor. Namun setelah Raja Kecil dapat meduduki takhta Kerajaan Johor, terpaksa Keluarga kesultanan meninggalkan Johor dan membuka kerajaan baru di sungai Siak, maka kerajaannya dinamakan “Kerajaan Siak Sri Inderapura”. Dalam keadaan yang baru ini, pembagian golongan dalam masyarakat Riau mulai berlaku.

Jika pada mulanya yang ada hanya kepala suku sebagai puncak dan anggota sukunya sebagai dasarnya, maka dengan adanya Sultan beserta keturunannya, terjadilah tingkatan sosial baru sebagai berikut: Raja/Ratu dan Permaisuri yang merupakan tingkat teratas. Keturunan Raja yang disebut anak Raja-raja, merupakan lapisan kedua. Orang baik-baik yang terdiri dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya beserta keturunannya merupakan lapisan ketiga. Orang kebanyakan atau rakyat umum, merupakan tingkatan terbawah.

Adanya tingkatan sosial tersebut membawa konsekuensi pula dibidang adat istiadat dan tata cara pergaulan masyarakat. Makin tinggi golongannya semakin banyak hak- haknya, seperti; keistimewaan dalam tata pakaian, tempat duduk dalam upaca-upacara pun menunjukan adanya perbedaan itu.

Pada perkembangan kekinian, seiring dengan perubahan ketatanegaraan akhirnya berubah juga stratifikasi sosial ini. Saat ini ketentuan-ketentuan adat ini sudah tidak mengikat lagi dan pada umumnya sudah disesuaikan dengan alam demokrasi sekarang. Sehingga perbedaan golongan tingkat ini sudah tidak kelihatan lagi dalam pergaulan. Pada waktu ini lebih diutamakan kepribadian, kedudukan dan keadaan materiel seseorang menurut ukuran sekarang.

Dalam upacara perkawinan misalnya, bagi mereka yang mempunyai kemampuan materiel, bisa memakai pakaian dan perlengkapan yang seharusnya diperuntukan bagi seorang Raja atau Sultan. Dalam upacar adat yang diadakan sekarang, yang dianggap tinggi adalah pejabat-pejabat pemerintah sesuai menurut kedudukannya sekarang, bukan lagi Datuk-datuk atau Tengku-tengku. Upacara adat sekarang sudah beralih fungsinya. Adanya upacara adat ini hanya sekedar menunjukkan identitas suku bangsanya dengan kejayaannya dengan masa lampau.

Dengan demikian, perkembangan budaya dalam pemahaman nasional atau negara Indonesia hari ini, tidak mengenal kasta, strata, jenis tertentu dalam masyarkat. Hal ini menunjukkan sisi egalitarian bangsa Indonesia dalam menyikapi ragam budaya, serta garis sejarah yang panjang di masing-masing daerahnya.

Dengan sifat egalitarian ini, sangat memungkinkan perbedaan yang ada bisa kita duduk sejajar dalam bermasyarakat meski berasal dari asal usul, golongan atau nenek moyang yang berbeda. Dan pentingnya pembelajaran adat dan budaya nenek moyang adalah untuk memahami makna filosofis yang terkandung bukan untuk memperdalam jurang pemisah kebhinekaan Indonesia.

1.11     Upacara
Sama seperti halnya suku bangsa lain di Indonesia, orang melayu di kepulauan Riau masing mengenal beberapa upacara adat yang berhubungan dengan alam. Misalnya upacara Betobo berkaitan dengan mengenal gotong-royong unruk mengolah sawah dan ladang, menyemah laut adalah upacara perlindungan laut dan isinya. Menumbai adalah upacara untuk mengambil madu dan lebah, belian adalah upacara pengobatan tradisional, bedowo upacara pengobatan tradisional sekaligus dipergunakan untuk mencari benda-benda yang hilang, dan upacara menetau tanah merupakan upacara membuka lahan untuk pertanian atau mendirikan bangunan. Tradisi seni bangunan yang masih tersisa adalah membuat rumah di atas dengan model baru. Ada beberapa bangunan yang masih dikenal di kepulauan Riau antara lain: rumah rabung atau rumah bubungan, lipat panda, lipat kajang dan rumah perabung melintang.

1.12     Sistem Kepercayaan
Penduduk daerah Kepulauan Riau umumnya adalah pemeluk agama Islam yang taat. Agama Islam di daerah ini telah dianut penduduk sejak masuknya agama Islam yang diperkirakan sejak abad ke-11 dan 12 M. Kepercayaan-kepercayaan masih melekat pada sementara penduduk, yaitu penduduk yang tinggal agak jauh ke pedalaman (petalangan) dan khususnya pula tentang suku Sakai.

Penduduk di petalangan ini, seperti Dayun, Sengkemang dan sekitarnya serta di pedalaman sungai Mandau, memang telah berabad-abad memeluk agama Islam. Di kampung-kampung mereka mesjid merupakan lambang desa. Tiap-tiap Juma’at mereka taaat melaksanakan sembahyang Juma’at, tetapi dalam kehidupan sehari-hari pengaruh animisme dan dinamisme masih cukup kuat. Kepercayaan akan adanya roh-roh jahat (hantu, setan), tempat-tempat sakti atau tempat-tempat angker masih mewarnai kehidupan mereka.

Hal-hal ini akan jelas terlihat dalam tindakan mereka sehari-hari, mulai dari melangkah meninggalkan rumah, dalam kegiatannya di ladang-ladang, di hutan, dijumpai banyak pantang-pantangan. Waktu mereka sakit dan dalam usaha mengobati penyakit mereka itu, mereka masih banyak berpegang pada kebiasaan-kebiasaan primitif.

Demikian pula halnya di masyarakat Sakai. Saat-saat terakhir ini telah banyak memeluk agama Islam dan Kristen. Di samping itu telah ada usaha Departemen Sosial memasyarakatkan mereka dengan mengadakan perkampungan dan pendidikan. Namun demikian agama Islam dan Kristen ini belumlah membudaya benar pada mereka. Sebagian besar dari mereka masih tetap dalam keadaan mereka yang lama dan pengaruh animisme dan dinamisme masih tetap dominan.

Pada zaman dahulu sistem kepercayaan suku melayu masih memiliki Kepercayaan kepada dewa-dewa, Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, Kepercayaan kepada kekuatan gaib, Kekuatan kepada kekuatan-kekuatan sakti.

Sumber :