1.1 Lokasi Provinsi Kepulauan Riau
Secara geografis provinsi Kepulauan Riau adalah provinsi
yang berbatasan dengan negara tetangga, yaitu Vietnam dan Kamboja di sebelah
utara, Negara Malaysia dan provinsi Kaliamantan Barat di timur, provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi di selatan, dan Negara Singapura, Malaysia,
provinsi Riau di sebelah barat.
Secara keseluruhan Wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 4
Kabupaten dan 2 Kota, 47 Kecamatan 274 Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau
besar dan kecil dimana 30% belum bernama dan berpenduduk. Adapun luas
wilayahnya sebesar 252.601 Km2, dimana sekitar 95%-nya merupakan lautan dan hanya 5% merupakan wilayah darat. Ibu
kota provinsi Kepulauan Riau berkedudukan di Tanjung Pinang.
Peta
Lokasi Kepulauan Riau
Sumber :
http://melayuetno.blogspot.com/2013/11/etnografi-suku-melayu-riau-daratan-dan_21.html
1.2
Pengertian
Rumah adat
Kepulauan Riau merupakan salah
satu satu provinsi di Indonesia. Daerah ini merupakan gugusan pulau yang
tersebar di perairan selat Malaka dan laut Cina selatan. Keadaan pulau-pulau
itu berbukit dengan pantai landai dan terjal. Mayoritas penduduknya berprofesi
sebagai nelayan dan petani. Sedangkan agama yang dianut oleh sebagian besar
dari mereka adalah Islam.
Kondisi
alam dan keyakinan masyarakat Kepulauan Riau sangat mempengaruhi pola
arsitektur rumahnya. Pengaruh alam sekitar dan keyakinan dapat dilihat dari
bentuk rumahnya, yaitu berbentuk panggung yang didirikan di atas tiang dengan
tinggi sekitar 1,50 meter sampai 2,40 meter. Penggunaan bahan-bahan untuk
membuat rumah, pemberian ragam hias, dan penggunaan warna-warna untuk
memperindah rumah merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan dan ekpresi
nilai keagamaan dan nilai budaya.
Salah
satu rumah untuk tempat tinggal masyarakat Kepulauan Riau adalah rumah Belah
Bubung. Rumah ini juga dikenal dengan sebutan rumah Rabung atau rumah Bumbung
Melayu. Nama rumah Belah Bubung diberikan oleh orang Melayu karena bentuk
atapnya terbelah. Disebut rumah Rabung karena atapnya mengunakan perabung.
Sedangkan nama rumah Bubung Melayu diberikan oleh orang-orang asing, khususnya
Cina dan Belanda, karena bentuknya berbeda dengan rumah asal mereka, yaitu
berupa rumah Kelenting dan Limas.
Nama
rumah ini juga terkadang diberikan berdasarkan bentuk dan variasi atapnya,
misalnya: disebut rumah Lipat Pandan karena atapnya curam; rumah Lipat Kajang
karena atapnya agak mendatar; rumah Atap Layar atau Ampar Labu karena bagian
bawah atapnya ditambah dengan atap lain; rumah Perabung Panjang karena Perabung
atapnya sejajar dengan jalan raya; dan rumah Perabung Melintang karena
Perabungnya tidak sejajar dengan jalan.
Besar
kecilnya rumah yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya
seseorang semakin besar rumahnya dan semakin banyak ragam hiasnya. Namun
demikian, kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak. Pertimbangan yang paling
utama dalam membuat rumah adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan
serasi atau tidaknya sebuah rumah, sang pemilik menghitung ukuran rumahnya
dengan hitungan hasta, dari satu sampai lima. Adapun uratannya adalah: ular
berenang, meniti riak, riak meniti kumbang berteduh, habis utang berganti
utang, dan hutang lima belum berimbuh. Ukuran yang paling baik adalah jika
tepat pada hitungan riak meniti kumbang berteduh.
Rumah
Belah Bubung
Sumber : http://www.kebudayaanindonesia.com/2014/05/kebudayaan-kepulauan-riau.html
1.3 Permukiman Pulau Penyengat Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan
Riau
a.
Deskripsi lokasi
Lokasi permukiman Pulau Penyengat terletak disebuah pulau
kecil yang berjarak 6 (enam) kilometer dari Tanjung Pinang. Yang biasa ditempuh
dari ibukota Kepulauan Riau, Tanjung Pinang melalui jalan laut dengan
menyebrang menggunakan kapal kayu berkapasitas 10-15 orang penumpang dengan
waktu tempuh 15-20 menit. Pulau penyengat dihuni 2.600 jiwa dengan luas sekitar
260 hektar, pulau kecil dengan kehidupan Melayu Islami yang khas. Pulau ini
juga dikenal sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga pada masa
lampau.
Secara geografis, pulau ini berada di bawah bukit kursi yang
masih rindang dengan hutan yang dilindungi oleh warga sekitar, jalan utama terbuat dari paving yang selalu
terlihat bersih dan rapi. Rumah penduduk sendiri menyebar diantara sisi jalan
desa sebagai orientasi serta beberapa rumah lain berada ditepi pulau yang
berbatasan dengan laut lepas.
b.
Gambaran Umum
Penduduk di Pulau Penyengat adalah penduduk asli yang ada
sejak jaman kesultanan Riau-Lingga. Penggunaan bahasa Melayu yang sangat kental
sebagai bahasa dalam berkomunikasi dengan sesama penduduk serta bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi dengan warga pendatang dan tamu dusun.
Memasuki kawasan pulau Penyengat ini akan terasa suasana Islami karena pintu
masuk pulau ini berhadapan dengan pintu masuk Masjid Sultan. Pulau ini sudah
dijadikan kawasan wisata sejarah dan religi bagi propinsi Kepulauan Riau.
c.
Budaya dan Adat
Istiadat
Penduduk Pulau Penyengat semuanya beragama Islam karenanya
aturan adat banyak mengacu pada ajaran Islam. Kegiatan adat di desa ini memang
kental nuansa Islam Melayu dan nilai religius yang kental yang bisa dilihat
dalam arsitektur rumah tinggal adalah anak tangga yang berjumlah lima sebagai
rukun Islam yang diartikan bahwa melewati anak tangga (rukun Islam) yang lima,
maka mereka akan mencapai kehidupan yang baik yakni berkumpul dengan keluarga.
Saat ini memang tidak banyak rumah tradisional yang tertinggal di kawasan Pulau
Penyengat, hanya sekitar 2 (dua) buah yang tersisa lainnya merupakan rumah
penduduk yang termodifikasi modern dan rumah panggung yang berada di atas bibir
pantai. Penduduk pulau Penyengat banyak berprofesi sebagai Nelayan, pedagang,
pegawai di Tanjung Pinang, dan beberapaa orang sebagian pemandu.
Semuanya sudah diatur dan ditetapkan dalam aturan adat yang
hingga saat ini memang belum tertulis (lisan) tetapi sudah menjadi aturan baku
secara turun temurun. Dari Masjid Sultan merupakan pusat kegiatan masyarakat
selain sebuah balai adat yang masih baru. Masyarakat masih menjunjung tinggi
kegiatan gotong royong dalam setiap kegiatan sosio kemasyarakatan sehingga
kekentalan tradisi ini manjadi benteng masuknya modernisasi meski tidak
terbendung dengan baik.
d.
Pola Permukiman dan
Artefak Arsitektural
Pola permukiman saat ini cenderung menyebar dan berorientasi
pada jalan umum sebagai arah hadap rumah dikawasan ini. Di pulau ini banyak
ditemui peninggalan bersejarah termasuk makam-makam Raja Kesultanan Riau,
diantaranya makam Raja Ali Haji yang dikenal sebagai sastrawan pencipta
Gurindam Dua Belas, makam Raja Ja;far, Raja Ali Marhum serta makam pahlawan
nasional Raja Haji Fisabillah, serta peninggalan bersejarah berupa Istana
Kantor, benteng pertahanan di Bukit Kursi, serta sebuah Masjid Sultan dengan
langgam arsitektur Timur Tengah. Pola perletakan rumah bergantung kepada jenis
rumahnya, yaitu rumah sejajar jalan dan tegak lurus jalan (melintang). Rumah
yang dibuat dengan perabung atapnya sejajar dengan jalan raya dimana rumah itu
terletak disebut Rumah Perabung Panjang, sebaliknya rumah yang tidak sejajar
dengan jalan raya disebut Rumah Perabung Melintang.
e.
Pola Ruang/Denah
Kedua rumah panggung Limasan di kedua kawasan ini memang
masih dipertahankan oleh pemiliknya. Dengan tinggi panggung 1,50-2 meter,
dibuat panggung sebagai ciri khas rumah didaerah Penyengat. Material rumah
banyak didominasi oleh bahan kayu dengan atap dari seng. Tangga depan berada
persis ditengah rumah seolah membelah rumah menjadi 2 bagian.
Denah
Sumber : buku Inventarisasi Arsitektur Tradisional dan Permukiman
Tradisional Wilayah Sumatera
Denah
Ruang depan sebagai ruang penerimaan tamu dan disisi kiri
terdapat kamar penghuni, bagian tengah merupakan ruang besar yang berfungsi
sebagai ruang keluarga dan difungsikan sebagai ruang makan. Dan bagian belakang
selain sebagai dapur juga menjadi ruang santai.
Aksonometri rumah
a.
Tampilan Rumah
Tipologi rumah yang dominan di Penyengat
adalah perabung melintang. Rumah dengan tinggi 1,5-2 meter berbentuk persegi
panjang, dimana besar kecil bangunannya disesuaikan dengan kemampuan
pemilikinya. Jika keadaan tanah didaerah dipinggir laut, maka rumah ditambah
dengan tiang yang berukuran kecil atau tiang tongkat. Dimana tiang ini hanya
sampai kerasuk atau gelagar saja. Material tiang biasanya dari kayu kulit,
naling, resak, atau tembesu. Dengan ukuran yang tidak ditentukan tergantung
dari besar/kecil rumah yang akan dibangun.
Papan dinding dipasang tegak lurus, jika
ada yang dipasang miring atau bersilangan, hanya sebagai variasi. Cara memasang
dinding biasanya dirapatkan dengan lidah pian atau dengan susunan bertindih
yang disebut tindih kasih. Cara lain yang digunakan adalah dengan pasangan
melintang dan saling menindih yang disebut susun sirih tetapi jarang digunakan
dengan kemiringan rata-rata 45 derajat. (Inventarisasi Arsitektur Tradisional dan Permukiman
Tradisional Wilayah Sumatera)
Perspektif rumah
Adapun lebih lengkapnya akan
dijelaska sebagai berikut
1.3 Bagian-bagian Rumah Belah Bubung
Pada rumah belah bubung terdiri atas 3
(tiga) bagian, yakni selasar, rumah induk
dan penanggah.
a.
Selasar
Pada umumnya selasar terdapat tiga mcam,
yakni Selasar Luar, Selasar Jatuh dan Selasar Dalam. Selasar yang berada di
depan Rumah Induk disebut Selasar Luar. Jika lantai Selasar Luar lebih rendah
dari Rumah Induk disebut Selasar Jatuh, dan jika Selasar menyatu dengan Rumah
Induk disebut Selasar Dalam. Selasar merupakan tempat anak-anak bermain,
meletakan alat pertanian dan tempat menerima tamu.
b.
Rumah
Induk
Rumah
Induk terbagi ke dalam tiga bagian yakni ruangan muka, ruangan tengah, dan
ruang dalam.
·
Ruangan muka.
Pada
ruangan ini menjadi tempat kaum ibu, serta tempat tidur keluarga perempuan dan
anak-anak yang belum berusia 7 tahun.
·
Ruangan tengah.
Ruangan
ini menjadi tempat tidur laki-laki yang sudah berumur 7 tahun.
·
Ruang dalam.
Ruang
ini merupakan tempat tidur orang tua perempuan dan anak perempuan yang telah
dewasa.
c.
Penanggah
Yang
dimaksud ruang penanggah adalah ruang Telo dan ruang dapur. Ruang telo
berfungsi menghubungkan rumah induk dengan dapur. Ruangan ini digunakan sebagai
tempat menyimpan sebagian alat pertanian dan nelaya, serta tempat menyimpan
cadangan air. Sedangkan dapur merupakan tempat melakukan aktivitas memasak,
makan keluarga dan menyimpan peralatan memasak.
1.4 Bangunan
Rumah
Bangunan rumah terdiri dari :
a.
Tangga
Tiang tangga
berbentuk segi empat atau bulat.Pada kiri kanan tangga ada kalanya diberi
tangan tangga yang dipasang sejajar dengan tiang tangga, dan selalu diberi
tiang hiasan berupa kisi-kisi larik atau papan tembus. Jumlah anak tangga tidak ditentukan,
tetapi tergantung pada tinggi rendahnya rumah tersebut.
b.
Tiang
Tiang berbentuk bulat atau
bersegi.Tiang yang terdapat pada keempat sudut rumah induk disebut “Tiang
Seri”, yaitu tiang pokok rumah tersebut. Tiang ini tidak boleh bersambung,harus
sampai dari tanah ketutup tiang,sedangkan tiang yang terletak diantara tiang
Seri sebelah depan rumah, disebut Tiang Penghulu. Jumlah
tiang rumah induk paling banyak 24 buah, sedangkan tiang untuk bangunan yang
lainnya tidaklah ditentukan jumlahnya. Pada rumah bertiang 24, tiang-tiang itu
didirikan 6 baris, masing-masing baris 4 buah tiang, termasuk tiang seri.
c. Rasuk
Rasuk adalah balok persegi empat yang terbuat dari kayu
keras seperti tembusu, resak dan kulim. Biasanya rasuk dibuat ganda. Rasuk
ganda disebut rasuk induk dan rasuk anak. Rasuk induk sebelah bawah dan rasuk
anak sebelah atas. Rasuk berbentuk persegi yang terbuat
dari kayu keras,dan dipasang menembus tiang. Rasuk adakalnya disebut “Gelegar
Jantan” atau ” Gelegar Induk”.
d.
Gelagar(anak rasuk)
Gelagar disebut
juga anak rasuk. Gelagar memiliki ukurannya lebih kecil
dari Rasuk, yang disusun
melintang diatas rasuk.
e.
Bendul
Umumnya
berbentuk bersegi empat,dan merupakan balok yang tidak boleh bersambung. Bendul
berfungsi sebagai batas ruangan dan batas lantai.
f.
Jenang
Jenang berbentuk balok persegi empat atau
bulat. Fungsi utamanya adalah tempat melekatkan dinding dan sebagai penyambung
tiang dari rasuk ke tutup tiang pada kedua ujungnya diberi puting. Sebelah
bawah dirasuk, sedangkan puting sebelah atas dipahatkan ke dalam tutup tiang.
g.
Sento
Pekayuan yang
menghubungkan jenang dengan jenang, bentuknya persegi atau bulat, bahannya
seperti bahan jenang tetapi ukurannya lebih kecil dan kedua ujung sento
dipahatkan kedalam jenang.
h.
Tutup tiang
Tutup tiang berbentuk balok persegi
empat, besarnya tergantung kepada ukuran tiang dan berfungsi sebagai pengunci
bagian atas tiang. Tutup tiang yang menghubungkan ke empat tiang Seri disebut
”tutup tiang panjang”, sedangkan yang menghubungkan tiang-tiang lainnya disebut
“tutup tiang pendek”.
i.
Alang
Kayu yang
dipasang melintang di atas tutup tiang disebut alang. Bentuknya persegi,
berfungsi sebagai gelegar loteng atau balok tarik dibawah kuda-kuda. Berukuran
sama atau lebih kecil sedikit dari tutup tiang.
j.
Kasau
Kasau berfungsi
sebagai kaki kuda-kuda dan bisa berfungsi sebagai tempat untuk melekatkan atap.
k. Gulung-gulung
Gulung-gulung berbentuk persegi, dipasang sejajar dengan tulang
bubung, dan terletak di atas kasau jantan.
l.
Tulang bubung
Tulang Bubung berbentuk persegi.
Berfungsi sebagai tempat pertemuan ujung kasau dan ujung atau sebelah atas. Di atas
tulang bubung dipasang peraung, yakmi atap yang menutup pertemuan puncank atap.
m. Jendela
Jendela biasa
disebut “tingkap” atau “pelinguk”. Bentuknya sama denagn pintu tapi ukurannya lebih kecil. Daun jendela satu
lembar dan 2 lembar. Sebagai pengaman, jendela di pasang jejarak panjang yang
disebut kisi-kisi yang terbuat dari kayu yang berbentuk segi empat, biasanya
diberi panel yang tingginya 30-40cm.
n. Lubang
angin
Lobang
angin atau yang biasa disebut dengan ventilasi yang di buat khusus dibagian
luar rumah, Biasanya berbentuk segi delapan, segi empat atau bulat. Di rumah
sederhana biasanya dibuat berbentuk segi empat.
o. Loteng
Loteng
disebut langsa. Loteng yang terletak di atas bagian belakang rumah (telo atau
dapur ) disebut paran atau para, namun tidak banyak rumah yang memakai loteng.
Terbuat dari papan yang disusun rapat sama seperti lanati ruma induk, hanya
lantai loteng ukurannya lebih kecil dan tipis.
p. Singap
(badai)
Singap
disebut teban layer atau bidai. Bagian ini biasa dibuat bertingkat dan diberi
hiasan yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi. Pada bagian yang menjorok
keluar diberi lantai yang disebut tubing layer atau lantai alanga buang atau
disebut juga undan-undan.
q. Atap
Bahan
utama adalah daun pinah dan daun rumbai dan di belakangan ini sering
dipergunakan seng. Untuk meletakkan dipergunakan tali rotan, sedangkan untuk
meletakkan perabung dipergunakan pasak yang terbuat dari nibung.
r. Dinding
Dalam aspek adat di dalam bangunan modern, disebut Purus. Jadi dalam
merapatkan dinding yang satu dengan yang lainnya, bagian yang menonjol itu
dimasukan kebagian yang cekung sehiungga papan-papan itu benar-benar rapat
tidak tembus air atau tembus cahaya. Dinding lidah pian biasanya dipasang bagi
rumah orang-orang yang mampu, karena untuk membuat Pian memerlukan tukang yang
ahli dan kayu keras yang tidak berserabut.
s. Pintu
Dalam aspek adat Pintu disebut juga Ambang atau Lawang.
Pintu yang berada diruangan tengah, kalau rumah itu berbilik, pintu yang
menghubungkan bilik disebut juga pintu Malim atau pintu Curi. Pintu ini khusus
keluarga perempuan, keluarga terdekat, atau untuk anak gadis, yang dibuat
terutama untuk manjaga agar penghuni rumah jika ada keperluan dari satu bilik
ke bilik lainnya tidak melewati ruangan tengah, apalagi bila ruangan itu sedang
ada tamu. Sebab menjadi adat pula bahwa “lalu lalang” di depan tamu merupakan
perbuatan yang tercela, tidak tahu sopan dan tidak beradab.
Dalam aspek kepercayaan/religi, pintu Malim mengandung
makna bahwa pemiliknya adalah orang alim, yakni orang yang tahu adat dan agama,
sehingga tidak melanggar sopan santun. Sedangkan pintu Curi bermakna bahwa
keluarga masuk pintu itu seperti pencuri yang berjalan hati-hati dan tidak
berisik seperti pencuri.
t.
Lantai
Dalam
aspek adat lantai terbuat dari kayu Meranti,
Medang, atau Punak. Untuk bagian rumah
induk lantainya dapat dibuat dari nibung yang dibelah-belah. Susunan lantai
sejajar dengan rasuk, dan melintang di atas gelegar, dimana ujungnya dibatasi
oleh bandul. Ketinggian lantai tergantung pada ketinggian tiang rumah. Umumnya
selisih ketinggian itu antara 20-60cm.
Dalam
aspek kebudayaan di rumah induk lantainya harus selalu disusun rapat, bahkan
diberi berlindah “Pian”, sedangkan diruangan dapur lantainya disusun jarang
atau agak jarang. Lantai yang terbuat dari belahan nibung biasanya ditemmpatkan
di ruang belakang, atau di tempat yang selalu kena air, seperti Telodan Dapur.
Lantai nibung ini tidak dipaku, tetapi dijalain dengan rotan dan lebarnya
antara 5-10cm.
1.5 Ornamentasi / Ragam Hias
Corak atau ornamen yang digunakan pada
rumah adat ini bersumber dari alam, yakni flora dan fauna. Di antara corak-corak tersebut, yang
terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan (flora). Hal ini
terjadi karena orang Melayu umumnya beragama Islam sehingga corak hewan (fauna)
dikhawatirkan menjurus kepada hal-hal yang berbau “keberhalaan”. Corak hewan
yang dipilih umumnya yang mengandung sifat tertentu atau yang berkaitan dengan
mitos atau kepercayaan tempatan.
Secara umum corak-corak tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a.
Flora
Hiasan
yang menstilasi tumbuh-tumbuhan banyak digunakan. secara umum, penggunaan
stilisasi tumbuh-tumbuhan dapat dikelompokan ke dalam tiga kelompok, yaitu :
kelompok kaluk pakis, kelompok bunga-bungaan dan kelompok pucuk rebung.
·
Kelompok
keluk pakis memiliki dua motif utama, yaitu motif daun-daunan dan motif
akar-akaran. Hiasan berbentuk daun meliputi motif daun susun, daun tunggal dan
daun bersangit. Sedangkan hiasan berbentuk akar-akaran meliputi motif akar
pakis, akar rotan, dan akar tunjang.
kaluk
pakis, kelopak jambu air, kaluk pakis bertingkat
·
Kelompok
bunga-bungaan meliputi stilisasi bunga Kundur, bunga Melati, bunga mangga,
bunga cengkeh, bunga melur, bunga cina dan bunga hutan.
Bunga
kundur, bunga cengkeh bersusun, bunga melati
·
Kelompok
pucuk rebung meliputi pucuk rebung dan sulo lalang.
Pucuk
rebung kuntum dua dewa
Adapun warna-warna yang sering digunakan sebagai pewarna
motif tumhan adalah :
·
Warna
hijau digunakan untuk mewarnai motif daun
·
Warna
putih, kuning, merah atau cat emas digunakakan untuk mewarnai motif bunga
·
Warna
hiju dan biru digunakan untuk mewarnai motif tangkai.
a. Fauna
Ukiran
yang menggunakan bentuk hewan dalam rumah Belah Bubung sangat sedikit
jumlahnya. Adapun hewan yang dipilih adalah hewan yang dianggap baik oleh
masyarakat, misalnya semut beriring, itik sekawan dan lebah bergantung. Namun
demikian penggambaran detail dari hewan-hewan tersebut tidak jelas.
Dinamakan
motif semut beriring karena bentuknya dianggap seperti semut beriring. Corak
semut dipakai walau tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut semut beriring karena
sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Dinamakan itik sekawan karena
berjalan bergerombol. Dinamakan lebah bergantung karena bentuknya seperti lebah
bergantung, dan digunakan karena sifat lebah yang selalu memakan yang bersih,
kemudian mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu). Penggunaan
warna ditentukan oleh selera yang punya rumah.
Itik
sekawan
Sumber : http://www.riaudailyphoto.com/2011/11/ragam-motif-ukiran-dalam-arsitektur.html
Sumber : http://www.riaudailyphoto.com/2011/11/ragam-motif-ukiran-dalam-arsitektur.html
a.
Alam
Motif alam yang sering digunakan adalah motif
bintang-bintang dan awan larat. Warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran
bintang-bintang pada umumnya adalah warna putih, kunin dan keemasan. Sedangkan
warna yang digunakan untuk mewarnai awan larat adalah warna hijau, biru, merah,
kuning dan putih.
Bintang
berkuntum, bulan penuh bunga berhias
a.
Kaligrafi dan Kalimah
Motif kaligrafi atau kalimah
merupakan ukiran yang berasal dari ayat-ayat al-Quran merupakan bentuk ukiran
yang merefleksikan kepercayaan atau agama masyarakat Kepulauan Riau, yaitu
Islam. Warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran kaligrap atau kalimah adalah
warna Putih, biru, hijau, kuning, keemasan atau perak.
b.
Motif Lain
Hiasan lain yang biasa digunakan
adalah Selembayung yang diletakkan di puncak atap, Sayap Layang-Layang yang
diletakan pada ujung kaki cucuran, Pinang-Pinang atau Gasing-Gasing, Papan
Tebuk dan Balam Dua Selengek atau ukiran berbentuk burung Balam. Warna yang
biasa digunakan adalah warna Putih sebagai tanda kesucian, warna merah sebagai
tanda persaudaraan dan keberanian, warna kuning sebagai lambing kekuasaan,
warna biru sebagai lambing kekuasaan di laut, warna hijau menlambangkan kesuburan
dan kemakmuran, warna hitam melambangkan keperkasaan, warna keemasan sebagai
lambang kekuasaan dan kejayaan.
Rumah
bubung melayu ini biasanya dihiasi dengan ukiran-ukiran : Puncak atapnya
dihiasi ukiran selembayung dan ujung cucuran atap dihiasi ukiran
sayap layang-layang. Ukiran lebah bergantung menghiasi lesplank, akar paku
mengisi bidang-bidang kosong, kisi-kisi dihiasi ukiran papan tebuk bermotif
itik sekawan, bunga-bunga maupun ukiran larik.
1.6 Konsep
Simbolik
a.
Tata Ruang Rumah
Tata
ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang
taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang
privat, seperti ruang-ruang pada Rumah Induk, dan ruang publik, seperti Selsar
dan Penanggah, merupakan usaha untuk menanamkan dan manjaga nilai kesopanan,
etika bermasyarakat.
b.
Ornamen
Penggunaan
ragam hias berkaitan dengan beragam warnanya tidak saja mengandung nilai
estetika (keindahan) tetapi juga nilai etis, moral, sosial dan religius. Ukiran
Daun Bersusun melambangkan kasih sayang, ukiran Daun Bersanggit melambangkan
kehidupan bermasyarakat, ukiran Akar Pakis melambangkan kehidupan keyakinan
bahwa semuanya akan kembali pada yang Satu, ukiran Akar Rotan melambangkan
kehidupan yang harus terus berkembang, dan ukiran Akar Tunjang melambangkan
tempat berpijak. Ukiran berbentuk fauna melambangkan hidup bergotong royong,
ketertiban umum dan sebagainya. Penggunaan ukiran dari ayat-ayat al-Quran tidak
saja untuk hiasan tetapi juga sebagai azimat, yaitu agar terhindar dari gangguan
makhluk halus dan sebagainya.
1.7 Bahan
Bangunan yang Digunakan
Bahan
bangunan yang digunakan pada rumah adalah :
Tiang
|
Kayu
Kulim, Kaling, Resak, Tembusu
|
|
Lantai
|
Papan
kayu Meranti, Medang, dan Punak
|
|
Dinding
|
Kayu
Punak, Meranti, Medang, Kulim
|
|
Dinding
Dapur
|
Kulit
kayu Meranti/Pelepah Kumbia/Bambu
|
|
Pintu
|
Kayu
Surian, Punak, Tembusu
|
|
Atap
|
Susunan
daun Nipah/duan Rumbia
|
|
Penyatu
tiang-tiang kayu
|
Pasak
dari Nibung
|
|
Pengikat
atap rumah
|
Rotan
|
|
1.9 Pola
Tata Ruang Suku Melayu Riau
Bagi
orang Melayu Riau, permukiman atau perkampungan harus dibangun penuh
perhitungan, karena di sanalah mereka menetap dan memanjangkan keturunan.
Permukiman dibangun dengan landasan adat (budaya) serta kepercayaan yang
dianutnya, kemudian disempurnakan dengan larang pantang yang diberlakukan
secara ketat. Orang-orang tua Melayu Riau mengingatkan: “dalam menyusuk atau
membangun kampung, adat dipegang lembaga dijunjung” atau dikatakan: “apabila
hendak menusuk kampung, adat dipakai lembaga dihitung, supaya tuah apat
besambung, supaya rezki terus melambung”.
Ketentuan
adat iniah yang menjadi acuan dasar dari masyarakat tempatan dalam membuat
perkampungan. Sehingga dalam Pemanfaatan Ruang, masyarakat Melayu Riau memiliki
aturan pembagian lahan menjadi 3 fungsi yaitu: lahan untuk pemukiman, lahan
untuk peladangan dan lahan untuk hutan rimba larangan.
1.10 Sistem
Sosial Masyarakat/Budaya dan Adat Istiadat
Masyarakat Melayu Riau pada dasarnya terdiri
dari dua stratifikasi Sosial atau golongan, yaitu golongan masyarakat asli dan
golongan penguasa atau bangsawan kesultanan. Meskipun demikian, struktur sosial
orang Melayu Riau sebenarnya longgar dan terbuka bagi kebudayaan lain. Sehingga
banyak orang Arab dan Bugis yang menjadi bangsawan.
Wan adalah gelar bangsawan bagi orang Arab dan raja adalah
gelar kebangsawanan orang Bugis. Mereka juga mendapat kedudukan yang sangat
tinggi (Sultan Siak dan Sultan-sultan Kerajaan Riau-Lingga). Sedangkan, gelar
bangsawan untuk orang Melayu adalah tengku.
Pada awalnya kepala-kepala suku yang menguasai
hutan tanah, “territorial” bernaung di bawah kerajaan Johor. Namun setelah Raja
Kecil dapat meduduki takhta Kerajaan Johor, terpaksa Keluarga kesultanan
meninggalkan Johor dan membuka kerajaan baru di sungai Siak, maka kerajaannya
dinamakan “Kerajaan Siak Sri Inderapura”. Dalam keadaan yang baru ini,
pembagian golongan dalam masyarakat Riau mulai berlaku.
Jika pada mulanya yang ada hanya kepala suku
sebagai puncak dan anggota sukunya sebagai dasarnya, maka dengan adanya Sultan
beserta keturunannya, terjadilah tingkatan sosial baru sebagai berikut:
Raja/Ratu dan Permaisuri yang merupakan tingkat teratas. Keturunan Raja yang
disebut anak Raja-raja, merupakan lapisan kedua. Orang baik-baik yang terdiri
dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya beserta keturunannya
merupakan lapisan ketiga. Orang kebanyakan atau rakyat umum, merupakan
tingkatan terbawah.
Adanya tingkatan sosial tersebut membawa
konsekuensi pula dibidang adat istiadat dan tata cara pergaulan masyarakat.
Makin tinggi golongannya semakin banyak hak- haknya, seperti; keistimewaan
dalam tata pakaian, tempat duduk dalam upaca-upacara pun menunjukan adanya
perbedaan itu.
Pada perkembangan kekinian, seiring dengan
perubahan ketatanegaraan akhirnya berubah juga stratifikasi sosial ini. Saat
ini ketentuan-ketentuan adat ini sudah tidak mengikat lagi dan pada umumnya
sudah disesuaikan dengan alam demokrasi sekarang. Sehingga perbedaan golongan
tingkat ini sudah tidak kelihatan lagi dalam pergaulan. Pada waktu ini lebih
diutamakan kepribadian, kedudukan dan keadaan materiel seseorang menurut ukuran
sekarang.
Dalam upacara perkawinan misalnya, bagi mereka
yang mempunyai kemampuan materiel, bisa memakai pakaian dan perlengkapan yang
seharusnya diperuntukan bagi seorang Raja atau Sultan. Dalam upacar adat yang
diadakan sekarang, yang dianggap tinggi adalah pejabat-pejabat pemerintah
sesuai menurut kedudukannya sekarang, bukan lagi Datuk-datuk atau
Tengku-tengku. Upacara adat sekarang sudah beralih fungsinya. Adanya upacara
adat ini hanya sekedar menunjukkan identitas suku bangsanya dengan kejayaannya
dengan masa lampau.
Dengan demikian, perkembangan budaya dalam
pemahaman nasional atau negara Indonesia hari ini, tidak mengenal kasta,
strata, jenis tertentu dalam masyarkat. Hal ini menunjukkan sisi egalitarian
bangsa Indonesia dalam menyikapi ragam budaya, serta garis sejarah yang panjang
di masing-masing daerahnya.
Dengan sifat egalitarian ini, sangat
memungkinkan perbedaan yang ada bisa kita duduk sejajar dalam bermasyarakat
meski berasal dari asal usul, golongan atau nenek moyang yang berbeda. Dan
pentingnya pembelajaran adat dan budaya nenek moyang adalah untuk memahami
makna filosofis yang terkandung bukan untuk memperdalam jurang pemisah
kebhinekaan Indonesia.
1.11 Upacara
Sama
seperti halnya suku bangsa lain di Indonesia, orang melayu di kepulauan Riau
masing mengenal beberapa upacara adat yang berhubungan dengan alam. Misalnya
upacara Betobo berkaitan
dengan mengenal gotong-royong unruk mengolah sawah dan ladang, menyemah laut
adalah upacara perlindungan laut dan isinya. Menumbai adalah upacara untuk
mengambil madu dan lebah, belian adalah upacara pengobatan tradisional, bedowo
upacara pengobatan tradisional sekaligus dipergunakan untuk mencari benda-benda
yang hilang, dan upacara menetau tanah merupakan upacara membuka lahan untuk
pertanian atau mendirikan bangunan. Tradisi seni bangunan yang masih tersisa
adalah membuat rumah di atas dengan model baru. Ada beberapa bangunan yang
masih dikenal di kepulauan Riau antara lain: rumah rabung atau rumah bubungan,
lipat panda, lipat kajang dan rumah perabung melintang.
1.12 Sistem Kepercayaan
Penduduk daerah Kepulauan
Riau umumnya adalah pemeluk agama Islam yang taat. Agama Islam di daerah ini
telah dianut penduduk sejak masuknya agama Islam yang diperkirakan sejak abad
ke-11 dan 12 M. Kepercayaan-kepercayaan masih melekat pada sementara penduduk,
yaitu penduduk yang tinggal agak jauh ke pedalaman (petalangan) dan khususnya
pula tentang suku Sakai.
Penduduk di petalangan
ini, seperti Dayun, Sengkemang dan sekitarnya serta di pedalaman sungai Mandau,
memang telah berabad-abad memeluk agama Islam. Di kampung-kampung mereka mesjid
merupakan lambang desa. Tiap-tiap Juma’at mereka taaat melaksanakan sembahyang
Juma’at, tetapi dalam kehidupan sehari-hari pengaruh animisme dan dinamisme
masih cukup kuat. Kepercayaan akan adanya roh-roh jahat (hantu, setan),
tempat-tempat sakti atau tempat-tempat angker masih mewarnai kehidupan mereka.
Hal-hal ini akan jelas
terlihat dalam tindakan mereka sehari-hari, mulai dari melangkah meninggalkan
rumah, dalam kegiatannya di ladang-ladang, di hutan, dijumpai banyak
pantang-pantangan. Waktu mereka sakit dan dalam usaha mengobati penyakit mereka
itu, mereka masih banyak berpegang pada kebiasaan-kebiasaan primitif.
Demikian pula halnya
di masyarakat Sakai. Saat-saat terakhir ini telah banyak memeluk agama Islam
dan Kristen. Di samping itu telah ada usaha Departemen Sosial memasyarakatkan
mereka dengan mengadakan perkampungan dan pendidikan. Namun demikian agama
Islam dan Kristen ini belumlah membudaya benar pada mereka. Sebagian besar dari
mereka masih tetap dalam keadaan mereka yang lama dan pengaruh animisme dan
dinamisme masih tetap dominan.
Pada
zaman dahulu sistem kepercayaan suku melayu masih memiliki Kepercayaan kepada
dewa-dewa, Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, Kepercayaan kepada
kekuatan gaib, Kekuatan kepada kekuatan-kekuatan sakti.
Sumber
:
- Inventarisasi Arsitektur Tradisional dan Permukiman Tradisional Wilayah Sumatera, (Penerbit : Direktorat penataan bangunan dan lingkungan, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum)
- http://gpswisataindonesia.blogspot.com/2013/12/rumah-adat-riau-dan-kepulauan-riau.html
- http://chipmunkjumpink.wordpress.com/2009/05/03/rumah-belah-bubung-rumah-tradisional-melayu-di-kepulauan-riau/
- http://architectureconsepdesign.blogspot.com/2009/11/bentuk-bagian-bagian-rumah-umumnya.html
- http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1887/rumah-belah-bubung-rumah-tradisional-melayu-di-kepulauan-riau
- http://melayuetno.blogspot.com/2013/11/etnografi-suku-melayu-riau-daratan-dan_21.html